Perhatian!!!

Protected by Copyscape Online Copyright Checker
Silahkan Copy Paste Isi Blog Ini, Tapi Jangan Lupa sertakan alamat http://akperppnisolojateng.blogspot.com di postingan /alamat blog anda, agar tidak biblokir Google. Terima Kasih

ASKEP UROLITHIASIS / PENYAKIT BATU KANDUNG KEMIH

DEFINISI Urolithiasis adalah suatu kedaruratan terjadinya penumpukan oksalat, calculi (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal. Gejala rasa sakit yang berlebihan pada pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanging wanita dengan perbandingan 3:1 dalam usia 30-60 tahun. Urine berwarna keruh seperti teh atau merah.

Vesikolithiasis (batu kandung kemih) adalah terdapatnya batu di kandung kemih. Vesikolithiasis mengacu pada adanya batu/kalkuli dalam vesika urinaria. Batu dibentuk dalam saluran perkemihan (vesika urinaria) ketika kepekatan urine terhadap substansi, yaitu kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat mengalami peningkatan. Batu perkemihan (urolithiasis) dapat timbul pada berbagai tingkat dari sistem perkemihan (ginjal, ureter, kandung kemih), tapi yang paling sering ditemukan di dalam ginjal (nephrollihiasis). Kira-kira satu pertiga dari individu yang menderita pada saluran kemih atas akan mengalami pengangkatan ginjal yang dijangkiti. B. ETIOLOGI Teori pembentukan batu: 1). Teori inti (nukleus): kristal dan benda asing merupakan tempat pengendapan kristal pada urin yang sudah mengalami supersaturasi. 2) Teori matrik Matrik organik yang berasal dari serum atau protein-protein urin memberikan kemungkinan pengendapan kristal. 3) Teori inhibitor kristalisasi: Beberapa substansi dalam urin menghambat terjadinya kristalisasi, konsentrasi yang atau absennya ini memungkinkan terjadinya kristalisasi. Hampir dari setengahnya kasus batu pada perkemihan adalah idiopatik. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap kalkuligenesis atau proses pembentukan batu si dalam vesika urinaria, antara lain: ­ Gangguan aliran air kemih/obstruksi dan statis urin ­ Gangguan metabolisme ­ Infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme berdaya membuat urease( Proteus Mirabilis). Infeksi saluran kemih dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal atau saluran kemih lain (vesika urinaria) dan akan menjadi inti pembentukan batu saluran kemih. ­ Benda asing ­ Jaringan mati ( nekrosis papil) ­ Jenis kelamin Data menunjukkan bahwa batu saluran kemih lebih banyak ditemukan pada pria. ­ Keturunan Ternyata anggota keluarga dengan batu saluran kemih lebih banyak mempunyai kesempatan untuk menderita batu saluran kemih daripada yang lain. ­ Air minum Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan bila kurang air minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urin akan meningkat dan akan mempermudah pembentukan batu. Kejenuhan air sesuai dengan kadar mineralnya terutama kalsium diperkirakan mempengaruhi terbentuknya batu saluran kencing. ­ Pekerjaan Pekerja-pekerja keras yang banyak bergerak seperti buruh dan petani akan mengurangi kemungkinan terjadinya batu saluran kemih bila dibandingkan dengan pekerja yang banyak duduk. ­ Makanan Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka morbiditas batu saluran kencing berkurang, sedangkan pada masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi rendah lebih sering terjadi. Penduduk vegetarian yang kurang makan putih telur sering menderita batu saluran kemih (vesika urinaria dab uretra). ­ Suhu Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringat, akan mengurangi produksi urin dan mempermudah pembentukan batu saluran kemih. C. PATOFISIOLOGI Batu dalam perkemihan berasal dari obstruksi saluran kemih, obstruksi mungkin terjadi hanya parsial atau lengkap. Obstruksi yang lengkap bisa menjadi hidronefrosis yang disertai tanda-tanda dan gejala-gejalanya. Proses patofisiologisnya sifatnya mekanis. Urolithiasis merupakan kristalisasi dari mineral dari matriks seputar, seperti pus, darah, jaringan yang tidak vital, tumor atau urat. Peningkatan konsentrasi larutan urin akibat intake cairan rendah dan juga peningkatan bahan-bahan organik akibat ISK atau urin statis, mensajikan sarang untuk pembentukan batu. Di tambah adanya infeksi meningkatkan ke basahan urin (oleh produksi amonium), yang berakibat presipitasi kalsium fosfat dan magnesium amonium fosfat. Komposisi kalkulus Renalis dan faktor-faktor yang mendorong adalah: No Komposisi/macam batu Faktor-faktor pendukung/penyebab 1 Calcium (oksalat dan fosfat) Hiperkalsemia Hiperkasiuri Dampak dari Hiperparatiroidisme Intoksikasi Vitamin D Penyakit Tulang yang parah Asidosis Tubulus Renalis Intake steroid purine Ph urin tinggi dan volume urine rendah 2 Asam urin (Gout) Diet tinggi purine dan ph urin rendah Volume urin rendah 3 Cystine dan xanthine Cystinuria dampak dari gangguan genetika dari metabolisme asam amino dan xanthineuria Mekanisme pembentukan batu ginjal atau saluran kemih tidak diketahui secara pasti, akan tetapi beberapa buku menyebutkan proses terjadinya batu dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : a. Adanya presipitasi garam-garam yang larut dalam air seni, dimana apabila air seni jenuh akan terjadi pengendapan. b. Adanya inti ( nidus ). Misalnya ada infeksi kemudian terjadi tukak, dimana tukak ini menjadi inti pembentukan batu, sebagai tempat menempelnya partikel-partikel batu pada inti tersebut. c. Perubahan pH atau adanya koloid lain di dalam air seni akan menetralkan muatan dan meyebabkan terjadinya pengendapan. Kecepatan tumbuhnya batu tergantung kepada lokasi batu, misalnya batu pada buli-buli lebih cepat tumbuhnya disbanding dengan batu pada ginjal. Selain itu juga tergantung dari reaksi air seni, yaitu batu asam akan cepat tumbuhnya dalam urin dengan pH yang rendah. Komposisi urin juga akan mempermudah pertumbuhan batu, karena terdapat zat-zat penyusun air seni yang relatif tidak dapat larut. Hal lain yang akan mempercepat pertumbuhan batu adalah karena adanya infeksi. Batu ginjal dalam jumlah tertentu tumbuh melekat pada puncak papil dan tetap tinggal dalam kaliks, yang sampai ke pyelum yang kemudian dapat berpindah ke areal distal, tetap tinggal atau menetap di tempat dimana saja dan berkembang menjadi batu yang besar. D. PATHWAY Penurunan intake cairan Statis urin Infeksi saluran kemih Renal/ginjal Konsentrasi larutan urin Kristalisasi mineral dari matriks seputar Obstruksi sal kemih prsial/total Batu ginjal/urolithiasis Ureter/ureterolithiasis Vesikolithiasis auaretrolithiasis Perubahan pola eliminasi BAK Operasi terbuka Resti infeksi Port de entrée mikroorganisme Kurang informasi Kurang pengetahuan ttg kondisi penyakitnya Ggn rasa nyaman: nyeri hipotalamus Merangsang nociseptor E. KOMPLIKASI Jika batu dibiarkan dapat menjadi sarang kuman yang dapat menimbulkan infeksi saluran kemih, pylonetritis, yang pada akhirnya merusak ginjal, kemudian timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya yang jauh lebih parah. F. MANIFESTASI KLINIS a. Disamping adanya serangan sakit hebat yang timbul secara mendadak yang berlangsung sebentar dan kemudian hilang tiba-tiba untuk kemudian, timbul lagi, disertai nadi cepat, muka pucat, berkeringat dingin dan tekanan darah turun atau yang disebut kolik, dapat pula disertai rasa nyeri yang kabur berulang-ulang di daerah ginjal dan rasa panas atau terbakar di pinggang yang dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Hematuri dapat juga terjadi apabila terdapat luka pada saluran kemih akibat pergeseran batu. b. Bila terjadi hydronefrosis dapat diraba pembesaran ginjal. Urin yang keruh dan demam akan juga dialami penderita batu ginjal. Demam menandakan infeksi penyerta. Jika terjadi penyumbatan saluran kemih menyeluruh, suhu tubuh bisas mendadak tinggi berulang-ulang. c. Anuria akan terjadi jika ada batu bilateral atau jika hanya ada satu ginjal penderita. G. PENGKAJIAN FOKUS 1) Data Subjektif Rasa nyeri (kolik renal) merupakan gejala utama pada episode akut dari calculus renal. Lokasi rasa nyeri tergantung kepada lokasi dari batu. Bila baru berada dalam piala ginjal, rasa nyeri adalah akibat dari hidronefrosis yang rasanya lebih tumpul dan sifatnya konstan, terutama timbul pada sudut costovertebral. Bila batu berjalan di sepanjang ureter rasa nyeri menjadi menghebat dan sifatnya intermiten. Disebabkan oleh spasme ureter akibat tekanan batu. Rasa nyeri menyelusuri jalur anterior dari ureter turun ke daerah supra pubis dan menjalar ke eksternal genetalia. Seringkali batu diam-diam dan tidak menimbulkan gejala-gejala selama beberapa tahun, dan ini sungguh-sungguh terjadi pada batu ginjal yang sangat besar. Batu yang sangat kecil dan halus bisa berlalu tanpa disadari oleh orangnya. Mual dan muntah sering menyertai kolik renal. 2) Data Objektif Urin dipantau tentang terdapatnya darah. Gross hematuria/perdarahan segar bisa tejadi bila batu pinggir-pinggirnya runcing dan juga bisa terjadi mikrohematuri. Bila diduga terdapat batu, semua urin bisa disaring untuk menentukan terdapatnya batu yang bisa keluar waktu berkemih. Pola berkemih di catat, karena berkemih sering tapi sedikit-sedikit sekali. Asiditas atau kalkalisan urin diperiksa dengan kertas PH/kertas lakmus. H. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI 1. Gangguan rasa nyaman: adanya rasa nyeri yang berlebihan pada daerah pinggang b.d adanya batu pada daerah yang sempit pada ureter atau pada ginjal. Data penunjang: ­ Letih yang berlebihan ­ Lemas, mual, muntah, keringat dingin ­ Pasien gelisah Tujuan: Rasa sakit dapat diatasi/hilang. Kriteria: · Kolik berkurang/hilang · Pasien tidak mengeluh sakit · Pasien dapat beristirahat dengan tenang. Rencana Tindakan ­ Kaji intensitas, lokasi dan area serta penjalaran dari rasa sakit ­ Observasi adanya abdominal pain ­ Jelaskan kepada pasien penyebab dari rasa sakit ­ Anjurkan pasien banyak minum ­ Berikan posisi serta lingkungan yang nyaman ­ Ajarkan tehnik relaksasi, teknik distorsi serta guide imagine untuk menghilangkan rasa sakit tanpa obat-obatan. ­ Kerjasama dengan tim kesehatan: · Pemberian obat-obatan narkotika · Pemberian anti spasmotika 2. Perubaha pola eliminasi b.d adanya obstruksi (calculi) pada renal atau pada uretra. Data Penunjang: · Urine out put < 50 cc perjam · Daerah perifer dingin pucat · Tensi < 100/70 mmHg · Nadi > 120 x permenit · Pernapasan > 28 x permenit · Pengisian kapiler > 3 detik Tujuan: Gangguan perfusi dapat diatasi Kriteria: · Produksi urine 30-50 cc perjam · Perifer hangat · Tanda-tanda vital dalam batas normal · Pengisian kapiler < 3 detik Rencana Tindakan - Observasi tanda-tanda vital - Observasi produksi urine setiap jam - Observasi perubahan tingkat kesadaran - Kerjasama dengan tim kesehatan: - Pemeriksaan laboratorium: kadae ureum/kreatinin, Hb, Urine HCT 3. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakitnya b.d kurang informasi Data penunjang: Pasien menyatakan belum memahami tentang penyakitnya Pasien kurang kooperatif dalam program pengobatan Tujuan : Pengetahuan pasien tentang penyakitnya meningkat Kriteria : · Pasien memahami tentang proses penyakitnya · Diskusikan tentang proses penyakitnya Rencana Tindakan : - Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga - Beri kesempatan pasien/keluarga untuk mengekspresikan perasaannya - Diskusikan pentingnya pemasukan cairan - Anjurkan pasien minum air putih 6-8 liter perhari selama tidak ada kontra indikasi - Batasi aktifitas fisik yang berat - Diskusikan pentingnya diet rendah kalsium - Kerjasama dengan tim kesehatan: ­ Diet rendah protein, rendah kalsium dan posfat ­ Pemberian ammonium chlorida dan mandelamine 4. Resti infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme melalui luka operasi. Tujuan : Tidak terjadi infeksi Kriteria hasil : ­ Meningkatkan waktu penyembuhan dengan tepat, bebas dari drainase purulen/eritema, dan tidak demam ­ Menyatakan pemahaman penyebab faktor resiko ­ Menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk menurunkan resiko Intervensi: - Catat karakteristik urine, dan perhatikan apakah perubahan berhubungan dengan keluhan nyeri pinggul. - Tes pH urine dengan kertas Nitrazin - Laporkan penghentian aliran urin tiba-tiba. - Observasi dan catat drainase luka, tanda inflamasi insisi, indikator sistemik sepsis. - Ganti balutan sesuai indikasi, bila memakai. - Kaji area lipatan kulit di paha, perineum - Awasi tanda vital


[+/-] Read More/Selengkapnya...

DOWNLOAD ASKEP LENGKAP SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI
ASKEP LENGKAP

Terima Kasih Telah Download,
ingin download askep lebih banyak silahkan klik Download Askep
Kami sangat berterima kasih jika pengunjung bersedia Klik Iklan yang ada

INGIN BERBISNIS SEPERTI SAYA SILAHKAN KLIK BANNER DIBAWAH INI

Manfaatkan BLOG ANDA

ASKEP BPH / PENYAKIT PROSTAT

DEFINISI BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter

Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasia(sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai. B. ETIOLOGI Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat pula dianggap undangan(counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah: o Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen. o Ketidakseimbangan endokrin. o Faktor umur / usia lanjut. o Unknown / tidak diketahui secara pasti. C. PATOLOGI ANATOMI Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20 gram dengan ukuran rata-rata: - Panjang 3.4 cm - Lebar 4.4 cm - Tebal 2.6 cm Secara embriologis terdiro dari 5 lobur: - Lobus medius 1 buah - Lobus anterior 1 buah - Lobus posterior 1 buah - Lobus lateral 2 buah Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi saru disebut lobus medius. Pada penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat. Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari: - Kapsul anatomis - Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler - Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian: Ø Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya Ø Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai adenomatus zone Ø Di sekitar uretra disebut periuretral gland Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris komunis yang bermuara ke dalam uretra. Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada oran dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Sedangkan pada penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik. Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu, padat dan tidak mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan. D. PATOFISIOLOGI Menurut syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 adalah Umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin. Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solutlainya meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan hipovelemia. Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. E. PATHWAY Obstruksi uretra Penumpukan urin dlm VU Pembedahan/prostatektomi Kompensasi otot destrusor Spasme otot spincter Merangsang nociseptor Hipotalamus Dekompensasi otot destrusor Potensi urin Tek intravesikal Refluk urin ke ginjal Tek ureter & ginjal meningkat Gagal ginjal Retensi urin Port de entrée mikroorganisme kateterisasi Luka insisi Resiko disfungsi seksual Nyeri Resti infeksi Resiko kekurangan vol cairan Resiko perdarahan: resiko syok hipovolemik Hilangnya fungsi tbh Perub pola eliminasi Kurang informasi ttg penyakitnya Kurang pengetahuan Hyperplasia periuretral Usia lanjut Ketidakseimbangan endokrin BPH F. MANIFESTASI KLINIS Walaupun Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu: 1. Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih 2. Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis. Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan Benigna Prostat Hipertrofi: a. Retensi urin b. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing c. Miksi yang tidak puas d. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia) e. Pada malam hari miksi harus mengejan f. Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria) g. Massa pada abdomen bagian bawah h. Hematuria i. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin) j. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi k. Kolik renal l. Berat badan turun m. Anemia Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui, pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan selaputnya merusak ginjal. G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan: 1. Laboratorium Meliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin 2. Radiologis Intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997). 3. Prostatektomi Retro Pubis Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat. 4. Prostatektomi Parineal Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum. H. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertropi prostat adalah a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal. b. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi c. Hernia / hemoroid d. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu e. Hematuria f. Sistitis dan Pielonefritis I. FOKUS PENGKAJIAN Dari data yang telah dikumpulkan pada pasien dengan BPH : Post Prostatektomi dapat penulis kelompokkan menjadi: a) Data subyektif: - Pasien mengeluh sakit pada luka insisi. - Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual. - Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan - Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa. b) Data Obyektif: - Terdapat luka insisi - Takikardi - Gelisah - Tekanan darah meningkat - Ekspresi w ajah ketakutan - Terpasang kateter J. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Gangguan rasa nyamam: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter 2. Perubahan pola eliminasi : retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder 3. Disfungsi seksual berhubungan dengan hilangnya fungsi tubuh 4. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée mikroorganisme melalui kateterisasi 5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya. K. RENCANA KEPERAWATAN 1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat. Kriteria hasil: - Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang - Pasien dapat beristirahat dengan tenang. Intervensi: a. Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri. b. Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi) c. Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah d. Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang) e. Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi f. Lakukan perawatan aseptik terapeutik g. Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat 2. Perubahan pola eliminasi urine: retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder. Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami retensi urin Kriteria: Pasien dapat buang air kecil teratur bebas dari distensi kandung kemih. Intervensi: a. Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terus- menerus dengan teknik steril b. Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup c. Observasi adanya tanda-tanda shock/hemoragi (hematuria, dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea) d. Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau jaringan e. Monitor urine setiap jam (hari pertama operasi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua post operasi) f. Ukur intake output cairan g. Beri tindakan asupan/pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada kontra indikasi h. Berikan latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan motivasi pasien untuk melakukannya. 3. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan sumbatan saluran ejakulasi, hilangnya fungsi tubuh Tujuan: Setelah dilakukan perawatn selama 1-3 hari pasien mampu mempertahankan fungsi seksualnya Kriteria hasil: Pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi intaraksi seksual dan aktivitas secara optimal. Intervensi: a. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan perubahannya b. Jawablah setiap pertanyaan pasien dengan tepat c. Beri kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tentang efek prostatektomi dalam fungsi seksual d. Libatkan kelurga/istri dalam perawatan pmecahan masalah fungsi seksual e. Beri penjelasan penting tentang: i. Impoten terjadi pada prosedur radikal j. Adanya kemungkinan fungsi seksual kembali normal k. Adanya kemunduran ejakulasi f. Anjurkan pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan (3-4 minggu) setelah operasi. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan port de entrée ikroorganisme melalui kateterisasi Tujuan: Setelah dilakukan perawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari infeksi Kriteria hasil: a. Tanda-tanda vital dalam batas normal b. Tidak ada bengkak, aritema, nyeri c. Luka insisi semakin sembuh dengan baik Intervensi: a. Lakukan irigasi kandung kemih dengan larutan steril. b. Observasi insisi (adanya indurasi drainage dan kateter), (adanya sumbatan, kebocoran) c. Lakukan perawatan luka insisi secara aseptik, jaga kulit sekitar kateter dan drainage d. Monitor balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perineal untuk menjamin dressing e. Monitor tanda-tanda sepsis (nadi lemah, hipotensi, nafas meningkat, dingin) 3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit, perawatannya Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 1-2 hari Kriteria : Secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan mendemonstrasikan perawatan Intervensi: a. Motivasi pasien/ keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit, perawat b. Berikan pendidikan pada pasien/keluarga tentang: a. Perawatan luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter b. Perawatan di rumah c. Adanya tanda-tanda hemoragi, infeksi

[+/-] Read More/Selengkapnya...

DOWNLOAD ASKEP LENGKAP SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI
ASKEP LENGKAP

Terima Kasih Telah Download,
ingin download askep lebih banyak silahkan klik Download Askep
Kami sangat berterima kasih jika pengunjung bersedia Klik Iklan yang ada

INGIN BERBISNIS SEPERTI SAYA SILAHKAN KLIK BANNER DIBAWAH INI

Manfaatkan BLOG ANDA

STROKE NON HEMORAGIK

Definisi
Gangguan peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA ( Cerebro Vaskuar Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak ( dalam beberapa detik) atau secara cepat ( dalam beberapa jam ) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu.(Harsono,1996, hal 67)

Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131) Penyakit ini merupakan peringkat ketiga penyebab kematian di United State. Akibat stroke pada setiap tingkat umur tapi yang paling sering pada usia antara 75 – 85 tahun. (Long. C, Barbara;1996, hal 176). B. Etiologi Penyebab-penyebabnya antara lain: 1. Trombosis ( bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak ) 2. Embolisme cerebral ( bekuan darah atau material lain ) 3. Iskemia ( Penurunan aliran darah ke area otak) (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131) C. Faktor resiko pada stroke 1. Hipertensi 2. Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, penyakit jantung kongestif) 3. Kolesterol tinggi 4. Obesitas 5. Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral) 6. Diabetes Melitus ( berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi) 7. Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merkok, dan kadar estrogen tinggi) 8. Penyalahgunaan obat ( kokain) 9. Konsumsi alkohol (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131) D. Manifestasi klinis Gejala - gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu. Gejala-gejala itu antara lain bersifat: 1. Sementara Timbul hanya sebentar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan hilang sendiri dengan atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut Transient ischemic attack (TIA). Serangan bisa muncul lagi dalam wujud sama, memperberat atau malah menetap. 2. Sementara,namun lebih dari 24 jam, Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut reversible ischemic neurologic defisit (RIND) 3. Gejala makin lama makin berat (progresif) Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang disebut progressing stroke atau stroke inevolution 4. Sudah menetap/permanen (Harsono,1996, hal 67) E. Pemeriksaan Penunjang 1. CT Scan Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark 2. Angiografi serebral Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri] 3. Pungsi Lumbal - menunjukan adanya tekanan normal - tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya perdarahan 4. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik. 5. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik 6. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena 7. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal (DoengesE, Marilynn,2000 hal 292) G. Penatalaksanaan 1. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral . 2. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131) H.KOMPLIKASI Hipoksia Serebral Penurunan darah serebral luasnya area cedera (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131) I. Pengkajian a. Pengkajian Primer - Airway Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk - Breathing Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi - Circulation TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, cianosis pada tahap lanjut b. Pengkajian Sekunder 1. Aktivitas dan istirahat Data Subyektif: - kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis. - mudah lelah, kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot ) Data obyektif: - Perubahan tingkat kesadaran - Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ), kelemahan umum. - Gangguan penglihatan 2. Sirkulasi Data Subyektif: - Riwayat penyakit jantung ( penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung, endokarditis bacterial ), polisitemia. Data obyektif: - Hipertensi arterial - Disritmia, perubahan EKG - Pulsasi : kemungkinan bervariasi - Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal 3. Integritas ego Data Subyektif: - Perasaan tidak berdaya, hilang harapan Data obyektif: - Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan, kegembiraan - kesulitan berekspresi diri 4. Eliminasi Data Subyektif: - Inkontinensia, anuria - distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh ), tidak adanya suara usus( ileus paralitik ) 5. Makan/ minum Data Subyektif: - Nafsu makan hilang - Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK - Kehilangan sensasi lidah, pipi, tenggorokan, disfagia - Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah Data obyektif: - Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum dan faring ) - Obesitas ( factor resiko ) 6. Sensori neural Data Subyektif: - Pusing / syncope ( sebelum CVA / sementara selama TIA ) - Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid. - Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati - Penglihatan berkurang - Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada muka ipsilateral ( sisi yang sama ) - Gangguan rasa pengecapan dan penciuman Data obyektif: - Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan , gangguan tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan gangguan fungsi kognitif - Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua jenis stroke, genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam ( kontralateral ) - Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral ) - Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/ kesulitan berkata-kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi dari keduanya. - Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli taktil - Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik - Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi lateral 7. Nyeri / kenyamanan Data Subyektif: - Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya Data obyektif: - Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial 8. Respirasi Data Subyektif: - Perokok ( factor resiko ) 9.Keamanan Data obyektif: - Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan - Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit - Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali - Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh - Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, berkurang kesadaran diri 10. Interaksi social Data obyektif: - Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi (Doenges E, Marilynn,2000 hal 292) J. Diagnosa Keperawatan 1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d terputusnya aliran darah : penyakit oklusi, perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema serebral Dibuktikan oleh : - Perubahan tingkat kesadaran , kehilangan memori - Perubahan respon sensorik / motorik, kegelisahan - Deficit sensori , bahasa, intelektual dan emosional - Perubahan tanda tanda vital Tujuan Pasien / criteria evaluasi ; - Terpelihara dan meningkatnya tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi sensori / motor - Menampakan stabilisasi tanda vital dan tidak ada PTIK - Peran pasien menampakan tidak adanya kemunduran / kekambuhan Intervensi : Independen - Tentukan factor factor yang berhubungan dengan situasi individu/ penyebab koma / penurunan perfusi serebral dan potensial PTIK - Monitor dan catat status neurologist secara teratur - Monitor tanda tanda vital - Evaluasi pupil (ukuran bentuk kesamaan dan reaksi terhadap cahaya ) - Bantu untuk mengubah pandangan , misalnay pandangan kabur, perubahan lapang pandang / persepsi lapang pandang - Bantu meningkatakan fungsi, termasuk bicara jika pasien mengalami gangguan fungsi - Kepala dielevasikan perlahan lahan pada posisi netral . - Pertahankan tirah baring , sediakan lingkungan yang tenang , atur kunjungan sesuai indikasi Kolaborasi - Berikan suplemen oksigen sesuai indikasi - Berikan medikasi sesuai indikasi : • Antifibrolitik, misal aminocaproic acid ( amicar ) • Antihipertensi • Vasodilator perifer, missal cyclandelate, isoxsuprine. • Manitol 2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d kerusakan batuk, ketidakmampuan mengatasi lendir Kriteria hasil: - Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas - Ekspansi dada simetris - Bunyi napas bersih saat auskultasi - Tidak terdapat tanda distress pernapasan - GDA dan tanda vital dalam batas normal Intervensi: - Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi - Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal - Penghisapan sekresi - Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam - Berikan oksigenasi sesuai advis - Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi 3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan Tujuan : Pola nafas efektif Kriteria hasil : - RR 18-20 x permenit - Ekspansi dada normal Intervensi : o Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. o Auskultasi bunyi nafas. o Pantau penurunan bunyi nafas. o Pastikan kepatenan O2 binasal o Berikan posisi yang nyaman : semi fowler o Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam o Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan DAFTAR PUSTAKA 1. Long C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah, Jilid 2, Bandung, Yayasan Ikatan Alumni pendidikan Keperawatan Pajajaran, 1996 2. Tuti Pahria, dkk, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan, Jakarta, EGC, 1993 3. Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan , Jakarta, Depkes, 1996 4. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta, EGC ,2002 5. Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC, 2000 6. Harsono, Buku Ajar : Neurologi Klinis,Yogyakarta, Gajah Mada university press, 1996

[+/-] Read More/Selengkapnya...

DOWNLOAD ASKEP LENGKAP SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI
ASKEP LENGKAP

Terima Kasih Telah Download,
ingin download askep lebih banyak silahkan klik Download Askep
Kami sangat berterima kasih jika pengunjung bersedia Klik Iklan yang ada

INGIN BERBISNIS SEPERTI SAYA SILAHKAN KLIK BANNER DIBAWAH INI

Manfaatkan BLOG ANDA

JENIS - JENIS CAIRAN INFUS

Dibawah ini jenis-jenis cairan infus dengan beebagai kegunaan / keuntungannya

ASERING
Indikasi:
Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma.
Komposisi:
Setiap liter asering mengandung:




Na 130 mEq

K 4 mEq

Cl 109 mEq

Ca 3 mEq

Asetat (garam) 28 mEq


Keunggulan:



Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hati

Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis laktat lebih baik dibanding RL pada neonatus

Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan isofluran

Mempunyai efek vasodilator

Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000 ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko memperburuk edema serebral



KA-EN 1B
Indikasi:



Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui, misal pada kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam)

<> 24-48 jam)

Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A

Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B


KA-EN MG3
Indikasi :



Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas

Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)

Mensuplai kalium 20 mEq/L

Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan 400 kcal/L


KA-EN 4A
Indikasi :



Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak

Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien dengan berbagai kadar konsentrasi kalium serum normal

Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik


Komposisi (per 1000 ml):



Na 30 mEq/L

K 0 mEq/L

Cl 20 mEq/L

Laktat 10 mEq/L

Glukosa 40 gr/L


KA-EN 4B
Indikasi:



Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia kurang 3 tahun

Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga meminimalkan risiko hipokalemia

Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik


Komposisi:



Na 30 mEq/L

K 8 mEq/L

Cl 28 mEq/L

Laktat 10 mEq/L

Glukosa 37,5 gr/L


Otsu-NS
Indikasi:



Untuk resusitasi

Kehilangan Na > Cl, misal diare

Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium (asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal, luka bakar)


Otsu-RL
Indikasi:



Resusitasi

Suplai ion bikarbonat

Asidosis metabolik


MARTOS-10
Indikasi:



Suplai air dan karbohidrat secara parenteral pada penderita diabetik

Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen seperti tumor, infeksi berat, stres berat dan defisiensi protein

Dosis: 0,3 gr/kg BB/jam

Mengandung 400 kcal/L


AMIPAREN
Indikasi:



Stres metabolik berat

Luka bakar

Infeksi berat

Kwasiokor

Pasca operasi

Total Parenteral Nutrition

Dosis dewasa 100 ml selama 60 menit


AMINOVEL-600
Indikasi:



Nutrisi tambahan pada gangguan saluran GI

Penderita GI yang dipuasakan

Kebutuhan metabolik yang meningkat (misal luka bakar, trauma dan pasca operasi)

Stres metabolik sedang

Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tpm)


PAN-AMIN G
Indikasi:



Suplai asam amino pada hiponatremia dan stres metabolik ringan

Nitrisi dini pasca operasi

Tifoid


[+/-] Read More/Selengkapnya...

DOWNLOAD ASKEP LENGKAP SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI
ASKEP LENGKAP

Terima Kasih Telah Download,
ingin download askep lebih banyak silahkan klik Download Askep
Kami sangat berterima kasih jika pengunjung bersedia Klik Iklan yang ada

INGIN BERBISNIS SEPERTI SAYA SILAHKAN KLIK BANNER DIBAWAH INI

Manfaatkan BLOG ANDA

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Disseminated intravascular coagulation (DIC) is a complex systemic thrombohemorrhagic disorder involving the generation of intravascular fibrin and the consumption of procoagulants and platelets. The resultant clinical condition is characterized by intravascular coagulation and hemorrhage.


The subcommittee on DIC of the International Society on Thrombosis and Haemostasis has suggested the following definition for DIC: "An acquired syndrome characterized by the intravascular activation of coagulation with loss of localization arising from different causes. It can originate from and cause damage to the microvasculature, which if sufficiently severe, can produce organ dysfunction."1

DIC is not an illness on its own but rather a complication or an effect of progression of other illnesses and is estimated to be present in up to 1% of hospitalized patients.2

DIC is always secondary to an underlying disorder and is associated with a number of clinical conditions (see List below), generally involving activation of systemic inflammation. DIC has several consistent components including activation of intravascular coagulation, depletion of clotting factors, and end-organ damage (see Components of DIC). DIC is most commonly observed in severe sepsis and septic shock. Indeed the development and severity of DIC correlates with mortality in severe sepsis.3, 4 Although bacteremia, including both gram-positive and gram-negative organisms, is most commonly associated with DIC, other organisms including viruses, fungi, and parasites may cause DIC.

Trauma, especially neurotrauma, is also frequently associated with DIC. DIC is more frequently observed in those patients with trauma who develop the systemic inflammatory response syndrome.5 Evidence indicates that inflammatory cytokines play a central role in DIC in both trauma patients and septic patients. In fact, systemic cytokine profiles in both septic patients and trauma patients are nearly identical.6

Conditions associated with DIC include the following7:



Sepsis/severe infection
Trauma (neurotrauma)
Organ destruction
Malignancy (solid and myeloproliferative malignancies)
Severe transfusion reactions
Rheumatologic illness

Adult Stills disease
Lupus
Obstetric complications

Amniotic fluid embolism
Abruptio placentae
Hemolysis, elevated liver enzymes, low platelets (HELLP) syndrome/eclampsia
Retained dead fetus syndrome
Vascular abnormalities

Kasabach-Merritt syndrome
Large vascular aneurysms
Severe hepatic failure
Severe toxic reactions

Envenomations
Transfusion reactions
Transplant rejection
Acute DIC versus chronic DIC

DIC exists in both acute and chronic forms. DIC develops acutely when sudden exposure of blood to procoagulants occurs, including tissue factor (tissue thromboplastin), generating intravascular coagulation. Compensatory hemostatic mechanisms are quickly overwhelmed, and, as a consequence, a severe consumptive coagulopathy leading to hemorrhage develops. Abnormalities of blood coagulation parameters are readily identified, and organ failure frequently occurs in acute DIC.

In contrast, chronic DIC reflects a compensated state that develops when blood is continuously or intermittently exposed to small amounts of tissue factor. Compensatory mechanisms in the liver and bone marrow are not overwhelmed, and there may be little obvious clinical or laboratory indication of the presence of DIC. Chronic DIC is more frequently observed in solid tumors and in large aortic aneurysms.8


Pathophysiology
DIC is caused by widespread and ongoing activation of coagulation, leading to vascular or microvascular fibrin deposition, thereby compromising an adequate blood supply to various organs. Four different mechanisms are primarily responsible for the hematologic derangements seen in DIC: increased thrombin generation, a suppression of anticoagulant pathways, impaired fibrinolysis, and inflammatory activation.9 Activation of intravascular coagulation is mediated almost entirely by the intrinsic clotting pathway.

Exposure to tissue factor in the circulation occurs via endothelial disruption, tissue damage, or inflammatory or tumor cell expression of procoagulant molecules, including tissue factor. Tissue factor activates coagulation by the intrinsic pathway involving factor VIIa. Factor VIIa has been implicated as the central mediator of intravascular coagulation in sepsis. Blocking the factor VIIa pathway in sepsis has been shown to prevent the development of DIC, whereas interrupting alternative pathways did not demonstrate any effect on clotting.10, 11 The tissue factor-VIIa complex then serves to activate thrombin, which, in turn, cleaves fibrinogen to fibrin while simultaneously causing platelet aggregation. Evidence suggests that the intrinsic (or contact) pathway is also activated in DIC, while contributing more to hemodynamic instability and hypotension than to activation of clotting.12

Thrombin generation is usually tightly regulated by multiple hemostatic mechanisms. However, once intravascular coagulation commences, compensatory mechanisms are overwhelmed or incapacitated. Antithrombin is one such mechanism responsible for regulating thrombin levels. However, due to multiple factors, antithrombin activity is reduced in patients with sepsis. First, antithrombin is continuously consumed by ongoing activation of coagulation. Moreover, elastase produced by activated neutrophils degrades antithrombin as well as other proteins. Further antithrombin is lost to capillary leakage. Lastly, production of antithrombin is impaired secondary to liver damage resulting from under-perfusion and microvascular coagulation.8, 13 Decreased levels of antithrombin correlate well with elevated mortality in patients with sepsis.4

Protein C, along with protein S, serves as an important anticoagulant compensatory mechanism. Under normal conditions, protein C is activated by thrombin and is complexed on the endothelial cell surface with thrombomodulin.8 Activated protein C combats coagulation via proteolytic cleavage of factors Va and VIIIa. However, the cytokines (tumor necrosis factor α[TNF-a], interleukin 1 [IL-1]) produced in sepsis and other generalized inflammatory states largely incapacitate the protein C pathway. Inflammatory cytokines down-regulate the expression of thrombomodulin on the endothelial cell surface.14 Protein C levels are further reduced via consumption, extravascular leakage, and reduced hepatic production and by a reduction in freely circulating protein S.

Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) is another anticoagulant mechanism that is disabled in DIC. TFPI inhibits the tissue factor-VIIa complex. Although levels of TFPI are normal in patients with sepsis, a relative insufficiency in DIC is evident. TFPI depletion in animal models predisposes to DIC, and TFPI blocks the procoagulant effect of endotoxin in humans.15 The intravascular fibrin produced by thrombin is normally eliminated via a process termed fibrinolysis. The initial response to inflammation appears to be augmentation of fibrinolytic action; however, this response soon reverses as inhibitors (plasminogen activator inhibitor-1 [PAI-1], TAFI) of fibrinolysis are released.16 Indeed, high levels of PAI-1 precede DIC and predict poor outcomes.17 Fibrinolysis cannot keep pace with increased fibrin formation, eventually resulting in under-opposed fibrin deposition in the vasculature.

Inflammatory and coagulation pathways interact in substantial ways. Many of the activated coagulation factors produced in DIC contribute to the propagation of inflammation by stimulating endothelial cell release of proinflammatory cytokines. Factor Xa, thrombin, and the tissue factor-VIIa complex have each been demonstrated to elicit proinflammatory action. Furthermore, given the anti-inflammatory action of activated protein C and AT, their impairment in DIC contributes to further dysregulation of inflammation.7, 18, 19

Components of DIC include the following9:

Exposure of blood to procoagulant substances
Fibrin deposition in the microvasculature
Impaired fibrinolysis
Depletion of coagulation factors and platelets (consumptive coagulopathy)
Organ damage and failure

Frequency
United States
Approximately 18,000 cases of DIC occurred in 1994. DIC may occur in 30-50% of patients with sepsis.

Mortality/Morbidity
Morbidity and mortality depend on both the underlying disease and the severity of coagulopathy. Assigning a numerical figure for DIC-specific morbidity and mortality is difficult. Below are examples of mortality rates in diseases complicated by DIC:

Idiopathic purpura fulminans associated with DIC has a mortality rate of 18%.
Septic abortion with clostridial infection and shock associated with severe DIC has a mortality rate of 50%.
In the setting of major trauma, the presence of DIC approximately doubles the mortality rate.3, 4

Sex
Incidence is equal in males and females.

Age
No age predilection is known.


[+/-] Read More/Selengkapnya...

DOWNLOAD ASKEP LENGKAP SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI
ASKEP LENGKAP

Terima Kasih Telah Download,
ingin download askep lebih banyak silahkan klik Download Askep
Kami sangat berterima kasih jika pengunjung bersedia Klik Iklan yang ada

INGIN BERBISNIS SEPERTI SAYA SILAHKAN KLIK BANNER DIBAWAH INI

Manfaatkan BLOG ANDA

About Diabetes Disease

Diabetes Information Has Many Sources
When a person is newly diagnosed as being diabetic many thoughts go through their mind, as well as numerous questions about the ailment. There are many good resources for obtaining diabetes information, not least of which is your medical care provider

Principal among the diabetes information you will want to have is what to do in case of emergency such as a hypoglycemic event, which is a sudden drop in blood sugar level, which if left untreated, could lead to unconsciousness or a coma. It is important that not only the diabetic understand what steps need to be taken, by those caring for them should know this as well. :)

While an exact cause of diabetes is unknown and how it affects a person is different for each, the basic symptoms are the same. There are two commonly known types of diabetes, Type I, when the body fails to produce enough insulin to do it job, and Type II, when the insulin is produced but does not function as it should. Most diabetes information refers to Type II being the most common form.

Diabetes occurs when the body fails to produce enough insulin, or to properly use the insulin produced to convert sugars and starch to energy for the body to burn as fuel. Diabetics require insulin to help their body perform this function and the amount of insulin and the method of ingestion will vary based on the diabetes information available for each patient.

Tracking Sugar Levels Necessary For Health

A person with diabetes must track the glucose level in the blood several times throughout the day to help establish a normal reading for them at different times. For example, it may be acceptable for sugar levels to be slightly elevated immediately after eating and if the level drops after a meal, there may be some cause for concern. Without the diabetes information based on that person’s history, it is not possible to know.

Keeping current on medical records can provide much needed diabetes information for medical professionals supplying emergency care. Not all medications can work together and knowing a person is a diabetic and what medications they are on because of it can eliminate the possibility of mixing incompatible medicines.

The American Diabetes Association along with the American Medical Association are also great resources for diabetes information and can refer those believing they have symptoms of diabetes to appropriate medical professionals.

[+/-] Read More/Selengkapnya...

DOWNLOAD ASKEP LENGKAP SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI
ASKEP LENGKAP

Terima Kasih Telah Download,
ingin download askep lebih banyak silahkan klik Download Askep
Kami sangat berterima kasih jika pengunjung bersedia Klik Iklan yang ada

INGIN BERBISNIS SEPERTI SAYA SILAHKAN KLIK BANNER DIBAWAH INI

Manfaatkan BLOG ANDA

NURSING DIAGNOSIS / DIAGNOSA KEPERAWATAN

sudahkah semuanya sepaham terhadap satu saja dari Diagnosa Perawatan?
Contoh sederhananya begini. Pada suatu saat saya mengisi training dan ceramah kepada teman-teman saya, saya tanyakan, ”Jika pasien mengeluh kesakitan di daerah perut, keluar keringat dingin, diagnosa perawatan yang paling pas untuk pasien ini apa?”

Si A dari DIII Keperawatan X menjawab, ”Gangguan rasa nyaman”
Si B dari DIII Keperawatan Y menjawab, ”Gangguan rasa nyaman nyeri”
Si C dari DIII Keperawatan Z menjawab, ”Ketidaknyamanan”
Si D dari DIII Keperawatan W menjawab, ”Nyeri”
Bisa dibayangkan, jika ada perawat di satu rumah sakit latar pendidikan DIII Keperawatan dari 10 institusi yang berbeda, mungkin akan ada 10 diagnosa keperawatan untuk satu pasien dengan keluhan yang sama. Atau bisa jadi 14 diagnosa yang berbeda, karena satu institusi pun kadang-kadang antar mahasiswanya tidak memiliki persamaan persepsi tentang Diagnosa Keperawatan terhadap satu kondisi pasien. Kok bisa demikian ya? Dan mereka tidak bisa disalahkan, karena memang sampai hari ini, profesi perawat di Indonesia belum memiliki standar baku tentang Diagnosa Keperawatan (yang lebih lengkap disebut SNL). Sayapun berani taruhan, jangankan antar mahasiswa, antar dosen pun kondisinya tidak jauh berbeda.
Di bangku kuliah dari DIII, S1 bahkan mungkin S2 kita, kayaknya juga belum ada Mata Kuliah tentang Diagnosa Keperawatan. Sehingga suudzon (negative thinking) saya, Diagnosa Keperawatan belum mendapat tempat di kurikulum pendidikan keperawatan.
Memang menjadi ajaib. 15 tahun perawat Indonesia memproklamirkan diri menjadi profesi yang mandiri, diagnosa perawatan yang baku masih belum dimiliki. Padahal NANDA-I sudah memperkenalkan kemandirian jauh-jauh hari, dimulai dari ”memiliki diagnosa sendiri.” Silakan buka buku Nursing Intervention Clasification (NIC), kita akan tahu, betapa Diagnosa Keperawatan (NANDA) disejajarkan dengan ICD X (International Clasification Diagnosis X) yaitu daftar Diagnosa Penyakit yang selama ini digunakan oleh dokter sebagai standar diagnosis.
Beberapa kali dalam seminar dan pelatihan, konsep ini saya sampaikan, tapi jawaban yang selalu terlontar, ”NANDA tidak sesuai dengan karakter orang Indonesia.” Atau yang lebih halus, ”Ruh kita sebenarnya sudah sesuai dengan NANDA.” Atau saudara kepengin tahu jawaban yang melecehkan? Ada seorang pembicara ketika dilontarkan tentang NANDA, NIC dan NOC, komentarnya begini, ”Apa itu NAK NIK NUK?” Sebagai seorang ilmuwan, mustinya tidak demikian. Karena kalau kita lihat biografi yang menyusun NANDA, siapa mereka? Tidak sedikit yang Master, Doktor bahkan Profesor dan semuanya RN. Kunjungi situsnya di www.nanda.org.
Saya tidak sedang membela pemikiran saya, membela NANDA atau membela PSIK UGM Yogyakarta yang pertama mempopulerkan NANDA, tapi mari kita berfikir rasional. Kita tidak perlu arogan menerima konsep baru, daripada kita tidak memiliki konsep.
Secara pribadi saya memberikan apresiasi kepada Dr. Ratna Sitorus, M.App.Sc yang telah memberikan komentarnya dalam sebuah workshop aplikasi NANDA, NIC, NOC yang kami adakan akhir 2006. Komentar Beliau, ”Kalau NANDA sudah kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia, saya pikir itu sudah ada nilai-nilai ke-Indonesia-an yang masuk.”

NANDA-I
North American Nursing Diagnosis Assosiation – International (NANDA-I) menyusun klasifikasi Diagnosa Keperawatan dan selalu memperbaharuinya. Saat ini setidaknya lebih dari 160 Diagnosa Keperawatan. Penggunaan diagnosis keperawatan berbasis NANDA dapat membantu penyusunan Standard Nursing Care Plans bagi institusi pelayanan kesehatan terutama rumah sakit.
Nursing diagnoses mendeskripsikan respon pasien, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan / proses kehidupan yang aktual maupun potensial. Nursing diagnoses juga menjadi dasar bagi pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan (outcome) , yang dapat dipertanggungjawabkan oleh perawat.
Setiap nursing diagnosis dari NANDA-I mempunyai definisi, defining characteristics (signs/symptoms) dan related/risk factors (etiologies). Bila kita asosiasikan dengan Diagnosa Penyakit, maka hamper sama di mana di sana juga memiliki definisi, tanda-gejala dan penyebab. Sebagai sebuah contoh :
Nursing Diagnosis:
• Knowledge Deficit: Medication (p.118)
Definition: Absence or deficiency of cognitive information related to a specific topic
Defining Characteristics (signs/symptoms): Verbalization of problem, Inaccurate follow-through of instruction, Inaccurate performance test, Inappropriate or exaggerated behaviors (e.g. apathetic, hysterical, hostile, agitated)
Risk/Related Factors (etiology): Cognitive limitation, Lack of exposure, Lack of recall, Information misinterpretation, Lack of interest in learning, Unfamiliarity with information resources

NANDA-I mengklasifikasikan Diagnosa keperawatan dengan Domain, Kelas dan Diagnosa. Ada 13 Domain yang dibuat NANDA-I yaitu :
1. Peningkatan Kesehatan
2. Nutrisi
3. Eliminasi/Pelepasan
4. Aktivitas/Istirahat
5. Persepsi/Kognisi
6. Persepsi Diri
7. Peran Hubungan
8. Seksualitas
9. Toleransi Koping Stress
10. Prinsip Hidup
11. Keselamatan Proteksi
12. Kenyamanan
13. Pertumbuhan / Perkembangan

Masing-masing Domain memiliki Kelas dan masing-masing Kelas memiliki Kelompok Diagnosa. Beberapa contoh saya tunjukan di bawah.

1. Domain Peningkatan Kesehatan
Kelas 1 Kesadaran kesehatan
Kelas 2 Manajemen kesehatan, diagnosa yang masuk: Manajemen rejimen terapeutik efektif, Manajemen rejimen terapeutik tdk efektif

2. Domain Nutrisi
Kelas 1 Ingesti, diagnosa yang masuk : Pola makan bayi tdk efektif, Kerusakan menelan, Ketidakseimbangan nutrisi :kurang, Ketidak seimbangan nutrisi: lebih, Resiko ketidakseimbangan nutrisi : lebih
Kelas 2 Digesti
Kelas 3 Absorpsi
Kelas 4 Metabolisme
Kelas 5 Hidrasi, diagnosa yang masuk : Kurang volume cairan, Resiko kurang volume cairan, Kelebihan volume cairan, Risiko ketidakseimbangan volume cairan, Kesiapan dlm peningkatan keseimbangan cairan

3. Domain Eliminasi/Pelepasan
Kelas 1 Fungsi urinary, diagnosa yang masuk : Kerusakan eliminasi urin, Retensi urin, Inkotinensia urin total, Inkontinensia urin fungsional, Inkontinensia urin reflek
Kelas 2 Fungsi gastrointestinal, diagnosa yang masuk: Inkontinensia usus, Diare, Konstipasi, Risiko konstipasi
Kelas 3 Fungsi integumen
Kelas 4 Fungsi respiratorik, diagnosa yang masuk : Kerusakan pertukaran gas

4. Domain Aktifitas/Istirahat
Kelas 1 Istirahat / tidur, diagnosa yang masuk: Gangguan pola tidur, Kurang tidur, Kesiapan dlm peningkaan tidur
Kelas 2 Aktifitas latihan, diagnosa yang masuk : Risiko sindroma disuse, Kerusakan mobilitas fisik, Keruskan mobilitas fisik di tempat tidur, Kerusakan kemampuan berpindah, Keterlambatan pemulihan pembedahan
Kelas 3 Keseimbangan energy, diagnosa yang masuk : Gangguan lahan energi, Kelelahan
Kelas 4 Respon kardio pulmonal, diagnosa yang masuk: Penurunan curah jantung, Kerusakan ventilasi spontan, Pola nafas tdk efektif, Intoleransi aktifitas, Risiko intoleransi aktifitas, Perfusi jaringan tdk efektif
Kelas 5 Perawatan diri

5. Domain Persepsi/Kognisi
Kelas 1 Perhatian
Kelas 2 Orientasi
Kelas 3 Persepsi / sensori, diagnosa yang masuk : Gangguan persepsi sensori
Kelas 4 Kognisi, diagnosa yang masuk : Kurang pengetahuan, Kebingungan akut, Kebingunangan kronis
Kelas 5 Komunikasi, diagnosa yang masuk: Kerusakan komunikasi verbal, Kesiapan dalam peningkatan komunikasi.

6. Domain Persepsi Diri
Kelas 1 Konsep Diri, diagnosa yang masuk: Gangguan identitas personal, Ketidakberdayaan, Putus asa
Kelas 2 Harga Diri, diagnosa yang masuk : Harga diri rendah kronis, Harga diri rendah situasional
Kelas 3 Gambaran Diri, diagnosa yang masuk: Gangguan citra tubuh

7. Domain Peran/Hubungan
Kelas 1 peran pemberi perawatan
Kelas 2 hubungan keluarga
Kelas 3 penampilan peran, diagnosa yang masuk : Menyusui tidak efektif

8. Domain Seksualitas
Kelas 1 identitas seksual
Kelas 2 fungsi seksual, diagnosa yang masuk: Disfungsi seksual, Pola seksualitas tdk efektif

9. Domain Koping/Toleransi terhadap Stress
Kelas 1 respon post trauma, diagnosa yang masuk : Sindroma trauma perkosaan
Kelas 2 respon koping, diagnosa yang masuk: Takut, Cemas
Kelas 3 stress neurobehavioral

10. Domain Prinsip Hidup
Kelas 1 Nilai
Kelas 2 Kepercayaan
Kelas 3 Nilai / kepercayaan / kesesuaian diri

11. Domain Keselamatan/Perlindungan
Kelas 1 infeksi, diagnosa yang masuk : Risiko infeksi
Kelas 2 cedera fisik, diagnosa yang masuk : Kerusakan membran mukosa oral, Risiko cidera, Kerusakan integritas kulit, Kerusakan integritas jaringan, Bersihan jalan nafas tidak efektif
Kelas 3 kekerasan
Kelas 4 lingkungan yang membahayakan
Kelas 5 proses bertahan
Kelas 6 termoregulasi, diagnosa yang masuk : Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh, Termoregulasi tidak efektif, Hipertermia

12. Domain Kenyamanan
Kelas 1 kenyamanan fisik, diagnosa yang masuk : Nyeri akut, Nyeri kronis, Nausea
Kelas 2 kenyamanan lingkungan
Kelas 3 kenyamanan sosial, diagnosa yang masuk: Isolasi sosial

13. Domain Pertumbuhan/Perkembangan
Kelas 1 pertumbuhan
Kelas 2 perkembangan

Diagnosa-diagnosa Perawatan dari NANDA-I yang ditampilkan di atas adalah diagnosa-diagnosa perawatan yang sering kita jumpai/muncul di lapangan, terutama rumah sakit. Sementara selebihnya banyak yang muncul di tataran praktek perawatan kesehatan masyarakat. Terhadap beberapa kelas yang belum ada diagnosanya, NANDA-I menyampaikan dalam catatan kakinya ”tobe develope”, artinya penelitian-penelitian masih terus dilakukan.


[+/-] Read More/Selengkapnya...

DOWNLOAD ASKEP LENGKAP SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI
ASKEP LENGKAP

Terima Kasih Telah Download,
ingin download askep lebih banyak silahkan klik Download Askep
Kami sangat berterima kasih jika pengunjung bersedia Klik Iklan yang ada

INGIN BERBISNIS SEPERTI SAYA SILAHKAN KLIK BANNER DIBAWAH INI

Manfaatkan BLOG ANDA

NURSING DIAGNOSIS / DIAGNOSA KEPERAWATAN

sudahkah semuanya sepaham terhadap satu saja dari Diagnosa Perawatan?
Contoh sederhananya begini. Pada suatu saat saya mengisi training dan ceramah kepada teman-teman saya, saya tanyakan, ”Jika pasien mengeluh kesakitan di daerah perut, keluar keringat dingin, diagnosa perawatan yang paling pas untuk pasien ini apa?”

Si A dari DIII Keperawatan X menjawab, ”Gangguan rasa nyaman”
Si B dari DIII Keperawatan Y menjawab, ”Gangguan rasa nyaman nyeri”
Si C dari DIII Keperawatan Z menjawab, ”Ketidaknyamanan”
Si D dari DIII Keperawatan W menjawab, ”Nyeri”
Bisa dibayangkan, jika ada perawat di satu rumah sakit latar pendidikan DIII Keperawatan dari 10 institusi yang berbeda, mungkin akan ada 10 diagnosa keperawatan untuk satu pasien dengan keluhan yang sama. Atau bisa jadi 14 diagnosa yang berbeda, karena satu institusi pun kadang-kadang antar mahasiswanya tidak memiliki persamaan persepsi tentang Diagnosa Keperawatan terhadap satu kondisi pasien. Kok bisa demikian ya? Dan mereka tidak bisa disalahkan, karena memang sampai hari ini, profesi perawat di Indonesia belum memiliki standar baku tentang Diagnosa Keperawatan (yang lebih lengkap disebut SNL). Sayapun berani taruhan, jangankan antar mahasiswa, antar dosen pun kondisinya tidak jauh berbeda.
Di bangku kuliah dari DIII, S1 bahkan mungkin S2 kita, kayaknya juga belum ada Mata Kuliah tentang Diagnosa Keperawatan. Sehingga suudzon (negative thinking) saya, Diagnosa Keperawatan belum mendapat tempat di kurikulum pendidikan keperawatan.
Memang menjadi ajaib. 15 tahun perawat Indonesia memproklamirkan diri menjadi profesi yang mandiri, diagnosa perawatan yang baku masih belum dimiliki. Padahal NANDA-I sudah memperkenalkan kemandirian jauh-jauh hari, dimulai dari ”memiliki diagnosa sendiri.” Silakan buka buku Nursing Intervention Clasification (NIC), kita akan tahu, betapa Diagnosa Keperawatan (NANDA) disejajarkan dengan ICD X (International Clasification Diagnosis X) yaitu daftar Diagnosa Penyakit yang selama ini digunakan oleh dokter sebagai standar diagnosis.
Beberapa kali dalam seminar dan pelatihan, konsep ini saya sampaikan, tapi jawaban yang selalu terlontar, ”NANDA tidak sesuai dengan karakter orang Indonesia.” Atau yang lebih halus, ”Ruh kita sebenarnya sudah sesuai dengan NANDA.” Atau saudara kepengin tahu jawaban yang melecehkan? Ada seorang pembicara ketika dilontarkan tentang NANDA, NIC dan NOC, komentarnya begini, ”Apa itu NAK NIK NUK?” Sebagai seorang ilmuwan, mustinya tidak demikian. Karena kalau kita lihat biografi yang menyusun NANDA, siapa mereka? Tidak sedikit yang Master, Doktor bahkan Profesor dan semuanya RN. Kunjungi situsnya di www.nanda.org.
Saya tidak sedang membela pemikiran saya, membela NANDA atau membela PSIK UGM Yogyakarta yang pertama mempopulerkan NANDA, tapi mari kita berfikir rasional. Kita tidak perlu arogan menerima konsep baru, daripada kita tidak memiliki konsep.
Secara pribadi saya memberikan apresiasi kepada Dr. Ratna Sitorus, M.App.Sc yang telah memberikan komentarnya dalam sebuah workshop aplikasi NANDA, NIC, NOC yang kami adakan akhir 2006. Komentar Beliau, ”Kalau NANDA sudah kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia, saya pikir itu sudah ada nilai-nilai ke-Indonesia-an yang masuk.”

NANDA-I
North American Nursing Diagnosis Assosiation – International (NANDA-I) menyusun klasifikasi Diagnosa Keperawatan dan selalu memperbaharuinya. Saat ini setidaknya lebih dari 160 Diagnosa Keperawatan. Penggunaan diagnosis keperawatan berbasis NANDA dapat membantu penyusunan Standard Nursing Care Plans bagi institusi pelayanan kesehatan terutama rumah sakit.
Nursing diagnoses mendeskripsikan respon pasien, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan / proses kehidupan yang aktual maupun potensial. Nursing diagnoses juga menjadi dasar bagi pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan (outcome) , yang dapat dipertanggungjawabkan oleh perawat.
Setiap nursing diagnosis dari NANDA-I mempunyai definisi, defining characteristics (signs/symptoms) dan related/risk factors (etiologies). Bila kita asosiasikan dengan Diagnosa Penyakit, maka hamper sama di mana di sana juga memiliki definisi, tanda-gejala dan penyebab. Sebagai sebuah contoh :
Nursing Diagnosis:
• Knowledge Deficit: Medication (p.118)
Definition: Absence or deficiency of cognitive information related to a specific topic
Defining Characteristics (signs/symptoms): Verbalization of problem, Inaccurate follow-through of instruction, Inaccurate performance test, Inappropriate or exaggerated behaviors (e.g. apathetic, hysterical, hostile, agitated)
Risk/Related Factors (etiology): Cognitive limitation, Lack of exposure, Lack of recall, Information misinterpretation, Lack of interest in learning, Unfamiliarity with information resources

NANDA-I mengklasifikasikan Diagnosa keperawatan dengan Domain, Kelas dan Diagnosa. Ada 13 Domain yang dibuat NANDA-I yaitu :
1. Peningkatan Kesehatan
2. Nutrisi
3. Eliminasi/Pelepasan
4. Aktivitas/Istirahat
5. Persepsi/Kognisi
6. Persepsi Diri
7. Peran Hubungan
8. Seksualitas
9. Toleransi Koping Stress
10. Prinsip Hidup
11. Keselamatan Proteksi
12. Kenyamanan
13. Pertumbuhan / Perkembangan

Masing-masing Domain memiliki Kelas dan masing-masing Kelas memiliki Kelompok Diagnosa. Beberapa contoh saya tunjukan di bawah.

1. Domain Peningkatan Kesehatan
Kelas 1 Kesadaran kesehatan
Kelas 2 Manajemen kesehatan, diagnosa yang masuk: Manajemen rejimen terapeutik efektif, Manajemen rejimen terapeutik tdk efektif

2. Domain Nutrisi
Kelas 1 Ingesti, diagnosa yang masuk : Pola makan bayi tdk efektif, Kerusakan menelan, Ketidakseimbangan nutrisi :kurang, Ketidak seimbangan nutrisi: lebih, Resiko ketidakseimbangan nutrisi : lebih
Kelas 2 Digesti
Kelas 3 Absorpsi
Kelas 4 Metabolisme
Kelas 5 Hidrasi, diagnosa yang masuk : Kurang volume cairan, Resiko kurang volume cairan, Kelebihan volume cairan, Risiko ketidakseimbangan volume cairan, Kesiapan dlm peningkatan keseimbangan cairan

3. Domain Eliminasi/Pelepasan
Kelas 1 Fungsi urinary, diagnosa yang masuk : Kerusakan eliminasi urin, Retensi urin, Inkotinensia urin total, Inkontinensia urin fungsional, Inkontinensia urin reflek
Kelas 2 Fungsi gastrointestinal, diagnosa yang masuk: Inkontinensia usus, Diare, Konstipasi, Risiko konstipasi
Kelas 3 Fungsi integumen
Kelas 4 Fungsi respiratorik, diagnosa yang masuk : Kerusakan pertukaran gas

4. Domain Aktifitas/Istirahat
Kelas 1 Istirahat / tidur, diagnosa yang masuk: Gangguan pola tidur, Kurang tidur, Kesiapan dlm peningkaan tidur
Kelas 2 Aktifitas latihan, diagnosa yang masuk : Risiko sindroma disuse, Kerusakan mobilitas fisik, Keruskan mobilitas fisik di tempat tidur, Kerusakan kemampuan berpindah, Keterlambatan pemulihan pembedahan
Kelas 3 Keseimbangan energy, diagnosa yang masuk : Gangguan lahan energi, Kelelahan
Kelas 4 Respon kardio pulmonal, diagnosa yang masuk: Penurunan curah jantung, Kerusakan ventilasi spontan, Pola nafas tdk efektif, Intoleransi aktifitas, Risiko intoleransi aktifitas, Perfusi jaringan tdk efektif
Kelas 5 Perawatan diri

5. Domain Persepsi/Kognisi
Kelas 1 Perhatian
Kelas 2 Orientasi
Kelas 3 Persepsi / sensori, diagnosa yang masuk : Gangguan persepsi sensori
Kelas 4 Kognisi, diagnosa yang masuk : Kurang pengetahuan, Kebingungan akut, Kebingunangan kronis
Kelas 5 Komunikasi, diagnosa yang masuk: Kerusakan komunikasi verbal, Kesiapan dalam peningkatan komunikasi.

6. Domain Persepsi Diri
Kelas 1 Konsep Diri, diagnosa yang masuk: Gangguan identitas personal, Ketidakberdayaan, Putus asa
Kelas 2 Harga Diri, diagnosa yang masuk : Harga diri rendah kronis, Harga diri rendah situasional
Kelas 3 Gambaran Diri, diagnosa yang masuk: Gangguan citra tubuh

7. Domain Peran/Hubungan
Kelas 1 peran pemberi perawatan
Kelas 2 hubungan keluarga
Kelas 3 penampilan peran, diagnosa yang masuk : Menyusui tidak efektif

8. Domain Seksualitas
Kelas 1 identitas seksual
Kelas 2 fungsi seksual, diagnosa yang masuk: Disfungsi seksual, Pola seksualitas tdk efektif

9. Domain Koping/Toleransi terhadap Stress
Kelas 1 respon post trauma, diagnosa yang masuk : Sindroma trauma perkosaan
Kelas 2 respon koping, diagnosa yang masuk: Takut, Cemas
Kelas 3 stress neurobehavioral

10. Domain Prinsip Hidup
Kelas 1 Nilai
Kelas 2 Kepercayaan
Kelas 3 Nilai / kepercayaan / kesesuaian diri

11. Domain Keselamatan/Perlindungan
Kelas 1 infeksi, diagnosa yang masuk : Risiko infeksi
Kelas 2 cedera fisik, diagnosa yang masuk : Kerusakan membran mukosa oral, Risiko cidera, Kerusakan integritas kulit, Kerusakan integritas jaringan, Bersihan jalan nafas tidak efektif
Kelas 3 kekerasan
Kelas 4 lingkungan yang membahayakan
Kelas 5 proses bertahan
Kelas 6 termoregulasi, diagnosa yang masuk : Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh, Termoregulasi tidak efektif, Hipertermia

12. Domain Kenyamanan
Kelas 1 kenyamanan fisik, diagnosa yang masuk : Nyeri akut, Nyeri kronis, Nausea
Kelas 2 kenyamanan lingkungan
Kelas 3 kenyamanan sosial, diagnosa yang masuk: Isolasi sosial

13. Domain Pertumbuhan/Perkembangan
Kelas 1 pertumbuhan
Kelas 2 perkembangan

Diagnosa-diagnosa Perawatan dari NANDA-I yang ditampilkan di atas adalah diagnosa-diagnosa perawatan yang sering kita jumpai/muncul di lapangan, terutama rumah sakit. Sementara selebihnya banyak yang muncul di tataran praktek perawatan kesehatan masyarakat. Terhadap beberapa kelas yang belum ada diagnosanya, NANDA-I menyampaikan dalam catatan kakinya ”tobe develope”, artinya penelitian-penelitian masih terus dilakukan.


[+/-] Read More/Selengkapnya...

DOWNLOAD ASKEP LENGKAP SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI
ASKEP LENGKAP

Terima Kasih Telah Download,
ingin download askep lebih banyak silahkan klik Download Askep
Kami sangat berterima kasih jika pengunjung bersedia Klik Iklan yang ada

INGIN BERBISNIS SEPERTI SAYA SILAHKAN KLIK BANNER DIBAWAH INI

Manfaatkan BLOG ANDA

PENYAKIT RABUN SENJA / XEROFTALMIA

Xeroftalmia berarti mata kering. Xeroftalmia timbul akibat kekeringan yang terjadi pada selaput lendir (konjungtiva) dan kornea (selaput bening) mata. Xeroftalmia yang tidak segera diobati dapat menyebabkan kebutaan. Xeroftalmia terjadi akibat kurangnya konsumsi vitamin A pada bayi, anak-anak, ibu hamil, dan menyusui.



Kebutaan terjadi secara bertahap. Demikian tahapannya :

Buta senja (XN)

Disebut juga rabun senja. Tidak terjadi kelainan pada mata (mata terlihat normal), hanya saja pengelihatan menjadi menurun saat senja tiba, atau tidak dapat melihat di dalam lingkungan yang kurang cahaya. Bagaimana cara mendeteksinya? Jika anak sudah dapat berjalan, ia sering membentur atau menabrak benda yang berada di depannya. Jika anak belum dapat berjalan, agak susah mendeteksinya. Biasanya anak akan diam memojok dan tidak melihat benda di depannya. Dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar, maka pengelihatan akan dapat membaik selama 2 hingga 4 hari. Namun jika dibiarkan, maka akan berkembang ke tahap selanjutnya.

Xerosis konjungtiva (X1A)

Selaput lendir atau bagian putih bola mata tampak kering, keriput, dan berpigmentasi dengan permuikaan sehingga terlihat kasar dan kusam. Mata akan tampak kering atau berubah menjadi kecoklatan.

Xerosis konjungtiva dan bercak bitot (X1B)

X1B merupakan tanda-tanda X1A ditambah dengan bercak seperti busa sabun atau keju, terutama di daerah celah mata sisi luar. Mata penderita umumnya tampak bersisik atau timbul busa. Dalam keadaan berat, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva (bagian putih mata), konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat, dan berkerut. Segeralah konsumsi atau berikan vitamin A kepada penderita. Anak dapat menjadi buta dalam waktu singkat. Dengan pemberian vitamin A yang baik dan pengobatan yang benar, bercak akan membaik selama 2 hingga 3 hari, dan kelainan mata akan menghilang dalam waktu 2 minggu.

Xerosis kornea (X2)

Kekeringan pada konjungtiva berlanjut hingga kornea (bagian hitam mata). Kornea tampak kering dan suram. Permukaan kornea tampak kasar. Umumnya terjadi pada anak yang bergizi buruk, menderita penyakit campak, ISPA, diare, dan sebagainya. Pemberian vitamin A yang benar akan membuat kornea membaik setelah 2 hingga 5 hari, dan kelainan mata akan sembuh selama 2 hingga 3 minggu.

Keratomalasia dan ulserasi kornea (X3A/ X3B)

Kornea melunak seperti buburdan terjadi ulkus kornea atau perlukaan. Tahap X3A bila kelainan mengenai kurang dari 1/3 permukaan kornea. Tahap X3B bila kelaiana mengenai sama atau lebih dari 1/ 3 permukaan kornea. Keadaan umum penderita sangatlah buruk. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea (pecahnya kornea). Bila penderita telah ditemukan pada tahap ini maka akan terjadi kebutaan yang tidak dapat disembuhkan.

Xeroftalmia scars (XS)

Disebut juga jaringan kornea. Kornea mata tampak memutih atau bola mata tampak mengempis. Jika penderita ditemukan pada tahap ini, maka kebutaan tidk dapat disembuhkan.

[+/-] Read More/Selengkapnya...

DOWNLOAD ASKEP LENGKAP SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI
ASKEP LENGKAP

Terima Kasih Telah Download,
ingin download askep lebih banyak silahkan klik Download Askep
Kami sangat berterima kasih jika pengunjung bersedia Klik Iklan yang ada

INGIN BERBISNIS SEPERTI SAYA SILAHKAN KLIK BANNER DIBAWAH INI

Manfaatkan BLOG ANDA

ASKEP SECSIO CECAREA

Konsep Dasar
1. Defenisi
Seksio sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat badan di atas 500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. (Saifudin, 2001 : 536)
Plasenta Previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. (Wiknjosostro, 1999 : 365)


2. Etiologi
Mengapa plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus tidak selalu dapat diterangkan, karena tidak nyata dengan jelas bahwa plasenta previa didapati untuk sebagian besar pada penderita dengan paritas fungsi, apabila aliran darah ke plasenta tidak cukup atau diperlukan lebih banyak seperti pada kehamilan kembar. Plasenta yang letaknya normal sekalipun akan meluaskan permukaannya, sehingga mendekati atau menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir. (Wiknjosostro, 1999 : 367)
3. Klasifikasi
a. Plasenta Previa Totalis, apabila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.
b. Plasenta Previa Parsialis, apabila sebahagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.
c. Plasenta Previa Marginalis, apabila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan.
d. Plasenta Letak Rendah, plasenta yang letaknya abnormal pada segmen bawah uterus tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir. (Wiknjosostro, 1999 : 365)
4. Anatomi Fisiologi
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15-20 cm dan tebal 2,5 cm, berat rata-rata 500 gram. Tali pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insersio sentralis). Bila hubungan agak pinggir (insersio lateralis). Dan bila di pinggir plasenta (insersio marginalis), kadang-kadang tali pusat berada di luar plasenta dan hubungan dengan plasenta melalui janin, jika demikian disebut (insersio velmentosa).
Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 10 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri. Meskipun ruang amnion membesar sehingga amnion tertekan ke arah korion, amnion hanya menempel saja.
Pada umumnya di depan atau di belakang dinding uterus agak ke atas ke arah fundus uteri, plasenta sebenarnya berasal dari sebagian dari janin, di tempat-tempat tertentu pada implantasi plasenta terdapat vena-vena yang lebar (sinus) untuk menampung darah kembali pada pinggir plasenta di beberapa tempat terdapat suatu ruang vena untuk menampung darah yang berasal ruang interviller di atas (marginalis).
Fungsi plasenta ialah mengusahakan janin tumbuh dengan baik untuk pertumbuhan adanya zat penyalur, asam amino, vitamin dan mineral dari ibu kejanin dan pembuangan CO2.
Fungsi Plasenta :
a. Sebagai alat yang memberi makanan pada janin.
b. Sebagai alat yang mengeluarkan bekas metabolisme.
c. Sebagai alat yang memberi zat asam dan mengeluarkan CO2.
d. Sebagai alat pembentuk hormone.
e. Sebagai alat penyalur perbagai antibody ke janin.
f. Mungkin hal-hal yang belum ketahui.(Wiknjosostro, 1999 : 66)
5. Patafisiologi
Pendarahan antepartum akibat plasenta previa terjadi sejak kehamilan 10 minggu saat segmen bawah uterus membentuk dari mulai melebar serta menipis, umumnya terjadi pada trismester ketiga karena segmen bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan servik menyebabkan sinus uterus robek karena lepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Pendarahan tidak dapat dihindarkan karena ketidak mampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi seperti pada plasenta letak normal. (Mansjoer, 1999 : 276)
6. Komplikasi
a. Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan, anemia karena perdarahan plasentitis, dan endometritis pasca persalinan.
b. Pada janin biasanya terjadi persalinan premature dan komplikasi seperti Asfiksi berat. ( Mansjoer, 1999 : 277)
Komplikasi bersifat relevan:
a. Infeksi yang di dapat dirumah sakit, terutama setelah dilakukan seksio sesarea pada persalinan.
b. Fenomena tromboemboli, terutama pada multipara dengan varikositas.
c. Ileus, terutama karena peritonitis dan kurang sering karena dasar obstruksi
d. Kecelakaan anestesi (Martius,2000:105).
7. Gambaran Kinik
Pendarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi selagi penderita tidur atau bekerja biasa, perdarahan pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak akan berakibat fatal. Perdarahan berikutnya hampir selalu banyak dari pada sebelumnya, apalagi kalau sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan dalam. Sejak kehamilan 20 minggu segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat dari dinding uterus. Pada saat ini dimulai terjadi perdarahan darah berwarna merah segar.
Sumber perdarahan ialah sinus uterus yang terobek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus perdarahan tidak dapat dihindari karena ketidak mampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan, tidak sebagai serabut otot uterus untuk menghentikan perdarahan kala III dengan plasenta yang letaknya normal makin rendah letak plasenta makin dini perdarahan terjadi, oleh karena itu perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi lebih dini dari pada plasenta letak rendah, yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai. ( Wiknjosostro, 1999 : 368 )
8. Diagnosis
a. Anamnesis
Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pada pemeriksaan hematokrit.
b. Pemeriksaan Luar
Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul mengelak ke samping dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul.
c. Pemeriksaan In Spekulo
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
d. Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung
Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan ultrasonagrafi. Ultrasonagrafi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak menimbulkan rasa nyeri. (Wiknjosostro, 1999 : 369)
e. Pemeriksaan Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5 cm disebut plasenta letak rendah.
f. Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif
Dilakukan dengan PDMO yaitu melakukan perabaan secara langsung melalui pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat banyak dan pada ibu dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO sebagai upaya menentukan diagnosis. (Saifudin, 2001 : 163)
9. Penatalaksanaan
a. Terapi Ekspektif
1) Tujuan supaya janin tidak terlahir premature, penderita dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis servisis.
2) Syarat-syarat terapi ekspektif :
- Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
- Belum ada tanda-tanda in partu.
- Keadaan umum ibu cukup baik.
- Janin masih hidup.
3) Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotik profilaksis.
4) Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta.
5) Berikan tokolitik bila ada kontraksi :
- MgS04 9 IV dosis awal tunggal dilanjutkan 4 gram setiap 6 jam.
- Nifedipin 3 x 20 mg perhari.
- Betamethason 24 mg IV dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
6) Uji pematangan paru janin dengan tes kocok dari hasil amniosentesis.
7) Bila setelah usia kehamilan diatas 34 minggu, plasenta masih berada disekitar ostium uteri interim.
8) Bila perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien dapat dipulang untuk rawat jalan.
b. Terapi Aktif ( tindakan segera ).
1) Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervagina yang aktif dan banyak, harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa memandang moturitus janin.
2) Lakukan PDMO jika :
a) Infus 1 transfusi telah terpasang.
b) Kehamilan > 37 minggu ( berat badan > 2500 gram ) dan inpartu.
c) Janin telah meninggal atau terdapat anomali kongenital mayor, seperti anesefali.
d) Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu atas panggul ( 2/5 atau 3/5 pada palpasi luar ).
3) Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa seksio sesarea .
a) Prinsip utama adalah menyelamatkan ibu, walaupun janin meninggal atau tidak punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan.
b) Tujuan seksio sesarea : persalinan dengan segera sehingga uterus segera berkontraksi dan menghentikan pendarahan, menghindarkan kemungkinan terjadi robekan pada serviks, jika janin dilahirkan pervagina.
c) Siapkan darah pengganti untuk stabiliasi dan pemulihan kondisi ibu. (Saifuddin, 2001 : 536 )
4) Perawatan Post Operasi Seksio Sesarea.
1. Analgesia
Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg Meperidin (intra muskuler) setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk mengatasi rasa sakit atau dapat disuntikan dengan cara serupa 10 mg morfin.
a) Wanita dengan ukuran tubuh kecil, dosis Meperidin yang diberikan adalah 50 mg.
b) Wanita dengan ukuran besar, dosis yang lebih tepat adalah 100 mg Meperidin.
c) Obat-obatan antiemetik, misalnya protasin 25 mg biasanya diberikan bersama-sama dengan pemberian preparat narkotik.
2. Tanda-tanda Vital
Tanda-tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan tekanan darah, nadi jumlah urine serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.
3. Terapi cairan dan Diet
Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan RL, terbukti sudah cukup selama pembedahan dan dalam 24 jam pertama berikutnya, meskipun demikian, jika output urine jauh di bawah 30 ml / jam, pasien harus segera di evaluasi kembali paling lambat pada hari kedua.
4. Vesika Urinarius dan Usus
Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam, post operasi atau pada keesokan paginya setelah operasi. Biasanya bising usus belum terdengar pada hari pertama setelah pembedahan, pada hari kedua bising usus masih lemah, dan usus baru aktif kembali pada hari ketiga..
5. Ambulasi
Pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dengan bantuan perawatan dapat bangun dari tempat tidur sebentar, sekurang-kurang 2 kali pada hari kedua pasien dapat berjalan dengan pertolongan.
6. Perawatan Luka
Luka insisi di inspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang alternatif ringan tanpa banyak plester sangat menguntungkan, secara normal jahitan kulit dapat diangkat setelah hari ke empat setelah pembedahan. Paling lambat hari ke tiga post partum, pasien dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi.
7. Laboratorium
Secara rutin hematokrit diukur pada pagi setelah operasi hematokrit tersebut harus segera di cek kembali bila terdapat kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan lain yang menunjukkan hipovolemia.
8. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri.
9. Memulangkan Pasien Dari Rumah Sakit
Seorang pasien yang baru melahirkan mungkin lebih aman bila diperbolehkan pulang dari rumah sakit pada hari ke empat dan ke lima post operasi, aktivitas ibu seminggunya harus dibatasi hanya untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang lain.(Cunningham, 1995 : 529)
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agam, alamat, status perkawinan, ruang rawat, nomor medical record, diagnosa medik, yang mengirim, cara masuk, alasan masuk, keadaan umum tanda vital.
b. Data Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang.
Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit dirasakan saat ini dan keluhan yang dirasakan setelah pasien operasi.
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
Meliputi penyakit yang lain yang dapat mempengaruhi penyakit sekarang, Maksudnya apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama (Plasenta previa).
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Meliputi penyakit yang diderita pasien dan apakah keluarga pasien ada juga mempunyai riwayat persalinan plasenta previa.
c. Data Sosial Ekonomi
Penyakit ini dapat terjadi pada siapa saja, akan tetapi kemungkinan dapat lebih sering terjadi pada penderita malnutrisi dengan sosial ekonomi rendah.
d. Data Psikologis
1) Pasien biasanya dalam keadaan labil.
2) Pasien biasanya cemas akan keadaan seksualitasnya.
3) Harga diri pasien terganggu
e. Data Pemeriksaan Penunjang
1) USG, untuk menetukan letak impiantasi plasenta.
2) Pemeriksaan hemoglobin
3) Pemeriksaan Hema tokrit.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Transisi Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perkembangan atau adanya peningkatan anggota keluarga. (Doengoes,2001:415).
b. Gangguan nyaman : nyeri akut berhubungan dengan trauma pembedahan (Doengoes,2001:417).
c. Ansietas berhubungan dengan situasi, ancaman pada konsep diri, transmisi / kontak interpersonal, kebutuhan tidak terpenuhi (Doengoes,2001:417).
d. Harga diri rendah berhubungan dengan merasa gagal dalam peristiwa kehidupan (Doengoes,2001:422).
e. Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan fungsi biokimia atau regulasi (Doengoes,2001;422)
f. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / kulit rusak (Doengoes,2001:427)
g. Konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot (Doengoes,2001:430).
h. Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan bayi berhubungan dengan kurang pemajanan stsu mengingati kesalahan interpretasi , tidak mengenal sumber-sumber (Doengoes,2001:431)
i. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan trauma atau diversi mekanisme efek-efek hormonal/anastesi (Doengoes,2001:437)
j. Kurang perawatan diri berhubungan dengan efek-efek anestesi, penurunan kekuatan dan ketahanan, ketidatnyamana fisik (Doengoes,2001:436)
3. Rencana Tindakan
a. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perkembangan transisi / peningkatan anggota keluarga.
Tujuan : dapat menerima perubahan dalam keluarga dengan anggotanya baru.
Kriteria hasil :
a) Menggendong bayi, bila kondisi memungkinkan
b) Mendemontrasikan prilaku kedekatan dan ikatan yang tepat
c) Mulai secara aktif mengikuti perawatan bayi baru lahir dengan cepat.
Intervensi :
1) Anjurkan pasien untuk menggendong, menyetuh dan memeriksa bayi, tergantung pada kondisi pasien dan bayi, bantu sesuai kebutuhan.
Rasional : Jam pertama setelah kelahiran memberikan kesempatan unik untuk ikatan keluarga terjadi karena ibu dan bayi secara emosional dan menerima isyarat satu sama lain, yang memulai kedekatan dan proses pengenalan.
2) Berikan kesempatan untuk ayah / pasangan untuk menyentuh dan menggendong bayi dan Bantu dalam perawatan bayi sesuai kemungkinan situasi.
Rasional : membantu memudahkan ikatan / kedekatan diantara ayah dan bayi. Memberikan kesempatan untuk ibu memvalidasi realitas situasi dan bayi baru lahir.
3) Observasi dan catat interaksi keluarga bayi, perhatikan perilaku yang dianggap menggandakan dan kedekatan dalam budaya tertentu.
Rasional : pada kontak pertama dengan bayi, ibu menunjukkan pola progresif dari perilaku dengan cara menggunakan ujung jari.
4) Diskusikan kebutuhan kemajuan dan sifat interaksi yang lazim dari ikatan. Perhatikan kenormalan dari variasi respon dari satu waktu ke waktu.
Rasional : membantu pasien dan pasangan memahami makna pentingnya proses dan memberikan keyakinan bahwa perbedaan diperkirakan.
5) Sambut keluarga dan sibling untuk kunjungan sifat segera bila kondisi ibu atau bayi memungkinkan.
Rasional : meningkatkan kesatuan keluarga dan membantu sibling memulai proses adaptasi positif terhadap peran baru dan memasukkan anggota baru kedalam struktur keluarga.
6) Berikan informasi, sesuai kebutuhan, keamanan dan kondisi bayi. Dukungan pasangan sesuai kebutuhan.
Rasional : membantu pasangan untuk memproses dan mengevaluasi informasi yang diperlukan, khususnya bila periode pengenalan awal telah terlambat.
7) Jawab pertanyaan pasien mengenai protokol, perawatan selama periode pasca kelahiran.
Rasional : informasi menghilangkan ansietas yang dapat menggangu ikatan atau mengakibatkan absorpsi dari pada perhatian terhadap bayi baru lahir.
b. Ketidaknyamanan : nyeri, akut berhubungan dengan trauma pembedahan.
Tujuan : ketidaknyamanan ; nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
a) Mengungkapkan kekurangan rasa nyeri.
b) Tampak rileks mampu tidur.
Intervensi :
1) Tentukan lokasi dan karakteristik ketidaknyamanan perhatikan isyarat verbal dan non verbal seperti meringis.
Rasional : pasien mungkin tidak secara verbal melaporkan nyeri dan ketidaknyamanan secara langsung. Membedakan karakteristik khusus dari nyeri membantu membedakan nyeri paska operasi dari terjadinya komplikasi.
2) Berikan informasi dan petunjuk antisipasi mengenai penyebab ketidaknyamanan dan intervensi yang tepat.
Rasional : meningkatkan pemecahan masalah, membantu mengurangi nyeri berkenaan dengan ansietas.
3) Evaluasi tekanan darah dan nadi ; perhatikan perubahan prilaku.
Rasional : pada banyak pasien, nyeri dapat menyebabkan gelisah, serta tekanan darah dan nadi meningkat. Analgesia dapat menurunkan tekanan darah.
4) Perhatikan nyeri tekan uterus dan adanya atau karakteristik nyeri.
Rasional : selama 12 jam pertama paska partum, kontraksi uterus kuat dan teratur dan ini berlanjut 2 – 3 hari berikutnya, meskipun frekuensi dan intensitasnya dikurangi faktor-faktor yang memperberat nyeri penyerta meliputi multipara, overdistersi uterus.
5) Ubah posisi pasien, kurangi rangsangan berbahaya dan berikan gosokan punggung dan gunakan teknik pernafasan dan relaksasi dan distraksi.
Rasional : merilekskan otot dan mengalihkan perhatian dari sensasi nyeri. Meningkatkan kenyamanan dan menurunkan distraksi tidak menyenangkan, meningkatkan rasa sejahtera.
6) Lakukan nafas dalam dengan menggunakan prosedur- prosedur pembebasan dengan tepat 30 menit setelah pemberian analgesik.
Rasional : nafas dalam meningkatkan upaya pernapasan. Pembebasan menurunkan regangan dan tegangan area insisi dan mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan berkenaan dengan gerakan otot abdomen.
7) Anjurkan ambulasi dini. Anjurkan menghindari makanan atau cairan berbentuk gas; misal : kacang-kacangan, kol, minuman karbonat.
Rasional : menurunkan pembentukan gas dan meningkatkan peristaltik untuk menghilangkan ketidaknyamanan karena akumulasi gas.
8) Anjurkan penggunaan posisi rekumben lateral kiri
Rasional : memungkinkan gas meningkatkan dari kolon desenden ke sigmoid, memudahkan pengeluaran.
9) Inspeksi hemoroid pada perineum. Anjurkan penggunaan es secara 20 menit setiap 24 jam, penggunaan bantal untuk peninggian pelvis sesuai kebutuhan.
Rasional : membantu regresi hemoroid dan varises vulva dengan meningkatkan vasokontriksi, menurunkan ketidak nyamanan dan gatal, dan meningkatkan fungsi usus normal.
10) Palpasi kandung kemih, perhatikan adanya rasa penuh. Memudahkan berkemih periodik setelah pengangkatan kateter indwelling.
Rasional : kembali fungsi kandung kemih normal memerlukan 4-7 hari dan overdistensi kandung kemih menciptakan perasaan dan ketidaknyamanan.
c. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada konsep diri, transmisi / kontak interpersonal, kebutuhan tidak terpenuhi.
Tujuan : ansietas dapat berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
a) Mengungkapkan perasaan ansietas
b) Melaporkan bahwa ansietas sudah menurun
c) Kelihatan rileks, dapat tidur / istirahat dengan benar.
Intervensi :
1) Dorong keberadaan atau partisipasi pasangan
Rasional : memberikan dukungan emosional; dapat mendorong mengungkapkan masalah.
2) Tentukan tingkat ansietas pasien dan sumber dari masalah. Mendorong pasien atau pasangan untuk mengungkapkan keluhan atau harapan yang tidak terpenuhi dalam proses ikatan/menjadi orangtua.
3) Bantu pasien atau pasangan dalam mengidentifikasi mekanisme koping baru yang lazim dan perkembangan strategi koping baru jika dibutuhkan.
Rasional : membantu memfasilitasi adaptasi yang positif terhadap peran baru, mengurangi perasaan ansietas.
4) Memberikan informasi yang akurat tentang keadaan pasien dan bayi.
Rasional : khayalan yang disebabkan informasi atau kesalahpahaman dapat meningkatkan tingkat ansietas.
5) Mulai kontak antara pasien/pasangan dengan baik sesegera mungkin.
Rasional : mengurangi ansietas yang mungkin berhubungan dengan penanganan bayi, takut terhadap sesuatu yang tidak diketahui, atau menganggap hal yang buruk berkenaan dengan keadaan bayi.
d. Harga diri rendah berhubungan dengan merasa gagal dalam peristiwa kehidupan.
Tujuan : tidak lagi mengungkapkan perasaan negatif diri dan situasi
Kriteria hasil :
a) Mengungkapkan pemahaman mengenai faktor individu yang mencetuskan situasi saat ini.
b) Mengekspresikan diri yang positif.
Intervensi :
1) Tentukan respon emosional pasien / pasangan terhadap kelahiran sesarea.
Rasional : kedua anggota pasangan mungkin mengalami reaksi emosi negatif terhadap kelahiran sesarea meskipun bayi sehat, orangtua sering berduka dan merasa kehilangan karena tidak mengalami kelahiran pervagina sesuai yang diperkirakan.
2) Tinjau ulang partisipasi pasien/pasangan dan peran dalam pengalaman kelahiran. Identifikasi perilaku positif selama proses prenatal dan antepartal.
Rasional : respon berduka dapat berkurang bila ibu dan ayah mampu saling membagi akan pengalaman kelahiran, sebagai dapat membantu menghindari rasa bersalah.
3) Tekankan kemiripan antara kelahiran sesarea dan vagina. Sampaikan sifat positif terhadap kelahiran sesarea. Dan atur perawatan pasca patum sedekat mungkin pada perawatan yang diberikan pada pasien setelah kelahiran vagina.
Rasional: pasien dapat merubah persepsinya tentang pengalaman kelahiran sesarea sebagaiman persepsinya tentang kesehatannya / penyakitnya berdasarkan pada sikap professional.
e. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / kulit rusak.
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil :
a) Luka bebas dari drainase purulen dengan tanda awal penyembuhan.
b) Bebas dari infeksi, tidak demam, urin jernih kuning pucat.
Intervensi :
1) Anjurkan dan gunakan teknik mencuci tangan dengan cermat dan pembuangan pengalas kotoran, pembalut perineal dan linen terkontaminasi dengan tepat.
Rasional : membantu mencegah atau membatasi penyebaran infeksi.
2) Tinjau ulang hemogolobin / hematokrit pranantal ; perhatikan adanya kondisi yang mempredisposisikan pasien pada infeksi pasca operasi.
Rasional : anemia, diabetes dan persalinan yang lama sebelum kelahiran sesarea meningkatkan resiko infeksi dan memperlambat penyembahan.
3) Kaji status nutrisi pasien. Perhatikan penampilan rambut, kuku jari, kulit dan sebagainya Perhatikan berat badan sebelum hamil dan penambahan berat badan prenatal.
Rasional : pasien yang berat badan 20% dibawah berat badan normal atau yang anemia atau yang malnutrisi, lebih rentan terhadap infeksi pascapartum dan dapat memerlukan diet khusus.
4) Dorong masukkan cairan oral dan diet tinggi protein, vitamin C dan besi.
Rasional : mencegah dehidrasi ; memaksimalkan volume, sirkulasi dan aliran urin, protein dan vitamin C diperlukan untuk pembentukan kolagen, besi diperlukan untuk sintesi hemoglobin.
5) Inspeksi balutan abdominal terhadap eksudat atau rembesan. Lepasnya balutan sesuai indikasi.
Rasional : balutan steril menutupi luka pada 24 jam pertama kelahiran sesarea membantu melindungi luka dari cedera atau kontaminasi. Rembesan dapat menandakan hematoma.
6) Inspeksi insisi terhadap proses penyembuhan, perhatikan kemerahan udem, nyeri, eksudat atau gangguan penyatuan.
Rasional : tanda-tanda ini menandakan infeksi luka biasanya disebabkan oleh steptococus.
7) Bantu sesuai kebutuhan pada pengangkatan jahitan kulit, atau klips.
Rasional : insisi biasanya sudah cukup membaik untuk dilakukan pengangkatan jahitan pada hari ke 4 / 5.
8) Dorong pasien untuk mandi shower dengan menggunakan air hangat setiap hari.
Rasional : Mandi shower biasanya diizinkan setelah hari kedua setelah kelahiran sesarea, meningkatkan hiegenis dan dapat merangsang sirkulasi atau penyembuhan luka.
9) Kaji suhu, nadi dan jumlah sel darah putih.
Rasional : Demam paska operasi hari ketiga, leucositosis dan tachicardia menunjukkan infeksi. Peningkatan suhu sampai 38,3 C dalam 24 jam pertama sangat mengindentifikasikan infeksi.
10) Kaji lokasi dan kontraktilitas uterus ; perhatikan perubahan involusi atau adanya nyeri tekan uterus yang ekstrem.
Rasional : Setelah kelahiran sesarea fundus tetap pada ketinggian umbilikus selama sampai 5 hari, bila involusi mulai disertai dengan peningkatan aliran lokhea, perlambatan involusi meningkatkan resiko endometritis. Perkembangan nyeri tekan ekstrem menandakan kemungkinan jaringan plasenta tertahan atau infeksi.
4. Implementasi
Setelah rencana tindakan perawatan tersusun, selanjutnya rencana tindakan tersebut dilaksanakan sesuai dengan situasi yang nyata untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam pelaksanaan tindakan, perawat dapat langsung melaksanakan kepada orang lain yang dipercaya di bawah pengawasan orang yang masih seprofesi dengan perawat.
(Nursalam, 2001 : 63)
5. Evaluasi
Evaluasi dari proses keperawatan adalah nilai hasil yang diharapkan dimasukkan kedalam SOAP terhadap perubahan perilaku pasien. Untuk mengetahui sejauh mana masalah pasien dapat diatasi, disamping itu perawat juga melakukan umpan balik atau pengkajian ulang jika tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai (Nursalam, 2001 : 71).

[+/-] Read More/Selengkapnya...

DOWNLOAD ASKEP LENGKAP SILAHKAN KLIK LINK DIBAWAH INI
ASKEP LENGKAP

Terima Kasih Telah Download,
ingin download askep lebih banyak silahkan klik Download Askep
Kami sangat berterima kasih jika pengunjung bersedia Klik Iklan yang ada

INGIN BERBISNIS SEPERTI SAYA SILAHKAN KLIK BANNER DIBAWAH INI

Manfaatkan BLOG ANDA

Tukeran Link

COPAS Kode dibawah ke blogmu

Tampilan Diblog akan seperti ini
akper,Keperawatan,PPNI,Solo

CARI DISINI

 


Ingin pasang iklan
dapat duit Klik Disini

Follow-Me

SMS Ke teman anda disini GRATIS

.

[KEMBALI KE ATAS ]